Stupid Is As Stupid Does

Wednesday, February 08, 2006

Cara Beda Nikmati Musik

Ketika Estu mengajak nonton Krakatau live in concert di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Rabu malam lalu, gw sempat ragu.

Ya, gw mendengarkan jazz. Tapi terus terang musik ethno jazz yang mereka bawakan really isn’t my cup of coffee. Ah, sudahlah. Dari pada penasaran, berangkat juga akhirnya. Secara tempatnya deket ini sama kantor.


duet dwiki dan rafly, sadis!

foto aziz indra

Show dimulai pukul 20.00 WIB, dengan harga tiket sekitar $10. Kita telat 20 menit, dan langsung menuju lantai 2. Setting panggungnya super sederhana. Hanya berlatar kain putih. Do-it-yourself banget. ^o^

Saat itu lagu kedua, Gank 4, baru saja habis. Sebelum menyanyikan Bunga Tembaga, frontman band ini Dwiki Dharmawan sempat memberikan repertoar. ”Sejak terbentuk pada 1984, Krakatau selalu main di Graha Bhakti Budaya. Jadi show ini seperti reuni bagi kami,” urainya.

Setelah itu, Ubiet membuka lagu dengan permainan ritme vokal yang mengundang decak kagum. Suara penyanyi bernama asli Nyak Ina Raseuki ini mampu membuat hati ini bergetar.

Krakatau memang berganti formasi. Di frontline baru, selain Ubiet, yang juga seorang Etnomusikolog itu, ada drummer Gerry Herb (Alv & Audiensi band).

Sementara itu, personel ”kawakan”-nya tetap Dwiki Dharmawan (piano & synthesizer), Prab Dharma (bass), Ade Rudiana (kendang), Yoyon Darsono (tarompet, rebab, suling), dan Zainal Arifin (gamelan). Khusus untuk konser malam itu, ada dua musikus tamu, saxophonist Arif Setyadie dan penyanyi/penulis lagu asal Aceh, Tengku Rafly.

Di Aceh, Rafly punya banyak hits, termasuk Aneuk Yatim dan Yaa Rabbana. Ketika bencana Tsunami datang, karya Rafly sempat dilantunkan di televisi nasional. Ia kini juga menyiapkan album solo bertajuk Meukoendro bersama grup Kande (diproduseri oleh Dwiki dan Ubiet).

Belakangan, gw baru tahu mengapa Dwiki begitu antusias terhadap Rafly. Ya, pada show malam itu, Rafly yang seakan menjadi bintang. Ia mampu meniupkan roh serta membuat show jadi lebih hidup. Tentu saja, terlepas dari kepiawaian personel lain dalam meramu nada.



Ketika Menjemput Harapan dinyanyikan, gw langsung merinding. I’ve got goosebumps. Terutama ketika Dwiki, sang frontman, memainkan intro piano yang lembut dan indah.

Paduan nada-nada piano Dwiki dan suara Rafly yang emosional menghasilkan campuran musik yang dahsyat. Ya, gw langsung trance. Sumpah, ini nggak melebih-lebihkan, tapi hati gw bergetar, rasanya pengin nangis.

Gw melalui sebuah ”fase” yang terasa asing. Sambil menutup mata, gw mencoba mencernanya pelan-pelan.

Rasanya lebih nikmat dari mendengarkan lagu mellow setelah putus cinta. Lebih nikmat dari menghisap cimeng sembari mendengarkan Hepcat dan Slackers. Lebih nikmat dari memasang New Order dan Orgy keras-keras ditemani sebotol Jack Daniels.

Oh God, gw baru sadar, kalau gw baru saja mengalami “orgasme” batin. Damn. Don’t laugh. Gw serius. Ternyata bisa juga ya otak gw mencerna musik kayak gini. And believe me, rasanya sensasional!

Rythm Talks dan Uhang Jaeuh dibawakan dengan prima. Seperti biasa, setiap personel bergiliran bersolo lewat alatnya masing-masing. Beberapa emang asyik banget, seperti duet drum Gery dan kendang Ade yang mantab dan sangat teknikal. Cuma, ada beberapa juga yang gw nggak paham. ^o^

Konser ini sekaligus menandai diluncurkannya rilisan terbaru, setelah enam tahun vakum, 2-Worlds. Secara musikal, Krakatau memang berubah, kendati tak jauh dari warna dasarnya (ethno jazz).

Krakatau yang sekarang, lebih banyak menggunakan instrumentasi Jawa dan Sunda. Misalnya Perahu dan Nyopat yang kaya muatan bebunyian tradisional yang variatif.

Rhythm of Reformation akhirnya menutup konser malam itu. Overall, gw puas. Sangat puas malah. Soal “trance” tadi, Estu berkomentar, “ah, sok sentimentil lu!”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home