Stupid Is As Stupid Does

Friday, February 24, 2006

what u pay is what u get!

Believe me, hal terakhir yang paling kamu inginkan saat hidup sendiri di kota orang adalah jatuh sakit.

It´s sucks.

Sakit + sendiri = kombinasi buruk. Sengsara!
Nyari makan sendiri, gak ada yang dikeluhin, ke dokter sendiri. Uh, pahit.

Karena itu, sebisa mungkin kita harus selalu menjaga kondisi tubuh agar tetap fit. Caranya? Ya jangan telat makan, tidur cukup, dan olah raga teratur.

Iya, itu kan teorinya. Prakteknya, tetep aja banyak yang dilanggar. Terutama soal tidur cukup. Namanya juga anak muda. Ya gak?

Gara gara futsal dan tidak memulihkan stamina dengan tidur yang sesuai, kondisi tubuh pun langsung menurun. Kalau sudah gitu, tubuh bakal rentan terkena penyakit dan kemasukan kuman.

Dan benar saja, itu terjadi pada gw. Yep, gw terkena diarrhea, yang bila dibahasa indonesiakan berarti, ehm, mencret-mencret. Penyakit yang sangat tidak cool bukan? Kata temen gw, penyakitmu gak keren blas!

Setelah memborong pocari sweat dan mizone agar tidak kekurangan cairan (pocari sudah terbukti secara medis, tapi lebih mahal), gw pun ke dokter. Dokter umum, disebelah kosan. Ongkosnya super terjangkau, cuma 4$ plus obatnya. Obat generik, tentu.

Tapi, setelah meminum obat yang diresepkan, perut gw malah kian tidak kompromi. Malem-malem nggak bisa tidur, karena usus gw terasa menari-nari cha-cha. Merasa akan ada “sesuatu” yang akan keluar dari perut, gw pun langsung berlari ke kamar mandi.

Tapi, sebelum sampai, brluuppppp......brrrlllruuuppppp..... *byor

Ya sodara-sodara, gw dengan sukses puke (memuntahi) motor temen gw yang ditaruh disebelah kamar mandi. Gokilll!!!!!

Akhirnya, setelah menghabiskan sisa puke tadi di kamar mandi. Gw pun berusaha “menghilangkan jejak” dengan membersihkan sisa-sisa limbah gw tadi diatas motornya. Jam ½ 4 pagi man! Dengan kondisi badan sedikit lemes. Ya, daripada pagi-pagi doi mencak2 tau motor kesayangannya penuh dengan limbah. Ya gak?

Well, eniwei, karena merasa tubuh gw gak ada perubahan, pagi-pagi pun gw brangkat ke klinik medis Medika Permata Hijau, ke dokter spesialis penyakit dalam.

Dengan cost yang nyaris 4 kali lipat (sekitar 16$), si dokter meresepkan obat yang hampir sama dengan yang direkomendasikan nyokap gw (udah gw cari di apotik tapi gak ktemu. Nama obatnya biodiar). Dan, hasilnya, perubahan drastis. Diare gw langsung mampet. Dan badan gw langsung enakan. Fiuuh. WYPIWYG!

btw besok gw mo ke Medan, liputan ind idol. moga2 aja ga ada apa2an. wish me luck ok.

Thursday, February 16, 2006

Nonton Balapan itu Seru!



“nonton A1 konon lebih seru daripada F1,” kata seorang teman. “soalnya, mesin A1 sama. Jadi kekuatan tiap mobil imbang,” tambahnya.

Dan memang, perkataannya tak salah waktu gw menyaksikan sendiri ajang A1 Grand Prix seri kedelapan, di Sirkuit Internasional Sentul, Bogor, minggu lalu.

Asal tau saja, gw bukan fans berat balap mobil. Gw lebih hapal nama-nama skateboarder daripada pembalap Formula 1. Hehehe. Kalo gw kemarin menonton, kebetulan ramai-ramai dengan teman sekantor, serta menemani teman kuliah dari Surabaya yang bela-belain menonton juga.


Begini kira-kira pemandangan dari bangku penonton. ditikungan itulah ada 3-4 mobil yang melintir.

Kesan pertama nonton A1, fantastis. Baru kali ini melihat “jet darat” secara langsung. Suaranya mesinnya kencang, memekkikan telinga. Kecepatannya? Jangan tanya, kalau duduk di barisan paling bawah, hanya melihat kelebatan saja. Meski kabarnya kecepatan A1 masih dibawah top speed F1 (320 km/jam).

Dan, tak satupun dari dua lomba yang digelar (sprint race dan feature race) terasa membosankan, seperti saat menonton di layar televisi. Nonton langsung, bikin tengkuk berdesir dan memacu adrenalin. Terasa banget cepatnya, dan raungan mesinnya.

Bahkan, gw cukup terbawa euforia, dengan berteriak dan meloncat-loncat gak jelas ketika ada mobil pembalap yang melintir. Di tikungan pertama, gw menyaksikan setidaknya 3-4 kali mobil melintir. Whoa, poolll banget rasanya.

Bener-bener nggak rugi, melawan kemacetan, dan terpaksa harus berjalan kaki (sekitar 1 kilo) dari pintu utama. Ya, animo penonton terhadap balapan ini luar biasa. Jalanan tol macet berat. Bahkan, mobil temen gw sampai parkir di tol, dan berjalan kaki sekitar 4 kilo melewati sawah!!! Wakakaka.

Overall, nonton balapan ternyata seru dan menyenangkan. Kata temen gw, “bisa dipindoni! (bisa di lakukan lagi),”. Hehehe.


Mas, nonton A1 ato nunggu penumpang ojek? Anduknya ituloh!

Wednesday, February 15, 2006

So Far So Good

Masih dalam euforia pergantian umur yang nyaris menginjak seperempat abad ini.

Kata Bryan Adams, so far so good. Sejauh ini, gw menjalani hidup yang (alhamdulilah) bahagia. Meski, kalau dibandingkan dengan banyak orang, pencapaian gw di usia segini masih belum apa-apa.

Ya, tapi kan nggak baik kalau terus melihat keatas. Gw sudah sangat bersyukur dengan apa yang gw punya. Ya pekerjaan, ya kesehatan, ya semuanya lah. Semoga saja bisa terus seperti ini. Semoga semua resolusi-resolusi dan keinginan-keinginan gw tahun ini bisa tercapai semua. Amin.

Dan, tentu saja, gw akan terus mencatatkan semua perkembangan dan langkah gw lewat blog ini. Sebagai arsip saja, yang gw rasa bakal berguna kedepannya.

Rasanya menyenangkan lho, apalagi saat ngebaca blog lama gw. Asli, sampai bikin tertawa-tertawa sendiri atau tersenyum simpul. Karena ada beberapa kejadian-kejadian lucu, yang kadang gw sendiri malah sudah lupa. Ya, gw telah dan akan terus berprogres.
Dan mungkin saja gw dua-tiga tahun lagi akan tertawa-tawa saat membaca postingan gw kali ini.

Im just an ordinary boy, with ordinary life. And im happy with it. Bila Jonathan Caouette menuangkan kehidupannya yang ekstrim, psychedelic, dan kompleks lewat video Super-8 di film biopik Tarnation, gw cukup mencatatkan kehidupan simple gw dengan serangkaian kata di blog ini. ^o^

Dan yang pasti, blog ini jauh lebih bisa dinikmati daripada mencerna Tarnation, yang menontonnya bikin pusing kepala. Hahaha.

Tuesday, February 14, 2006

It’s the “Day”

00.30 WIB

Gw, bareng anak-anak kost melalui jalanan lenggang Daan Mogot, menuju tempat karaoke medium-low class. Sebut saja HP. Tempat tersembunyi itu punya 3 lantai. Yang pertama untuk pub. Lantai dua karaoke, dan yang ketiga...ehm, ya begitulah. Tapi sumpah, tujuan kita malam itu hanya untuk karaoke.

Tempatnya standar, ada kamar mandi dalam. Yang unik, ketika gw bingung mencari remote untuk menginstal lagu yang dipilih, teman-teman ketawa. Oalah, ternyata, tempat ini do-it-yourself banget. serba manual.


Pasukan Koplak : (ki-ka) Awie, Bayu, Freddy, Teguh, Estu, dan yes, it’s me.

Jadi kalau memilih lagu, harus menggunakan mikropon, dan kemudian me-request langsung ke operator (cewek bersuara mendesah). Hahaha. Gokil tapi seru, karena si Op bisa dibercandain.

Eniwei, sejurus kemudian, setelah pesan beberapa botol bir dan nasi goreng, kita pun ber-ha-ha-hi-hi. Memesan lagu-lagu “super norak” seperti Sewu Dino-Didi Kempot, Kisah Seorang Pramuria dan Gereja Tua milik Panbers, serta Aku Begini Engkau Begitu-nya Broery Marantika. Hahaha. ^o^. Hey, ditempat seperti ini, jangan berharap ada lagu baru dan up to date. Eniwei, i have a great time tonight. Hahaha.


Empat Jam Sebelumnya....


Gw menelpon PR Front Row, bilang akan datang menonton show Maliq n dessentials. Call me mellow, tapi gw suka banget lagu-lagu mereka. Neo soul manis yang romantis. *halah. Pulang dulu ambil kamera, sekalian nyangking Ulum buat menemani.

Sampai sana, ternyata Front Row full booked. Semua dihias serba Valentine, semua datang berpasangan. Bahkan, ada pasangan yang datang dengan pakaian seragam. Niat banget sih. *aslinya ngiri berat.

Datang kesitu, jelas bikin sakit hati dan nyesek. Dinner bareng pacar,--steaks dan anggur--, bunga, diiringi lagu Maliq yang romantis, duh, sempurna sekali. Untungnya, gw terhibur menyaksikan show band yang kepanjangan dari Music and Live Instrument Quality itu.

Single-single fave gw, Sampai Kapan, Sunshine,Kangen, Ketika, dan dipungkasi dengan single andalan Terdiam. Terlepas dari sound Front Row yang menurut gw rasa kurang greget, gw puas dengan penampilan mereka.


Maliq benar-benar membuat penonton “terdiam”.

Dua Jam Sebelumnya.....

Valentine ngapain?

Ah secara nggak punya gebetan dan gak punya duit, gw gak ada rencana khusus. Dan hasilnya ya begini ini, blogwalking gak jelas di kantor. Ah dammit. Its V-day, and its my birthday. I deserve to be happy tonight. Huh. :(

Monday, February 13, 2006

Nonton Konser Uriah Heep


Rambut gondrong pirang, usia diatas 60, kaus kutung oranye menyala, plus celana ketat hijau bunga-bunga. Ini baru namanya rockstar!



Gw dibesarkan dengan musik skoinkcore (ska/oi/melodic/punk/hardcore), jadi jelas, metal is out of case. Apapun bentuknya, heavy metal, black metal, death metal. Definately a big no! Gw lebih suka show Napalm Death dari pada Kreator, di Ancol beberapa bulan lalu. Karena Napalm lebih “nge-punk”.

Karena itulah, ketika menonton konser rock legend, Uriah Heep di Tennis Indoor senayan, Minggu malam lalu, gw cuma manyun, “apa enaknya ya?”

Band beranggotakan Lee Kerslake (drum), Mick Box (gitar), Phil Lanzon (kibor), Bernie Shaw (vokal), dan Trevor Bolder (bass) ini seumuran kakek gw. Tapi soal manggung, mereka jauh lebih dahsyat dari aksi Slank!

Serius! Stamina band asal Inggris yang membawakan musik heavy metal kental ini masih prima. Bernie Shaw, sang frontman, mampu membuat pertunjukkan mengalir. Ia berlari, berteriak, meloncat, hingga membuat penonton—yang rata-rata warga ekspat—itu tertawa lewat jokes ataupun tingkah konyolnya.

Drummer Lee Kerslake—sumpah, mirip banget sama bapaknya Bam Margera—meski berbadan gendut dan sedikit terlihat terengah-engah, namun mampu menyuguhkan permainan drum yang rapi. Troplean-nya mantab!

Overall, meski konser malam itu ciamik. Tetap saja gw pulang sebelum konser selesai, lha wong emang nggak bisa mencerna satupun lagu-lagu mereka. ^o^

Yang menyebalkan, gw salah nge-push ISO 300D gw ke 1600, alhasil, foto gw over semua dan banyam yang gak fokus. Tamron lens + 300D, kombinasi buruk untuk moto konser. Gak bisa fokus, gak bisa continous. Coba kasih gw 20D + 70-200 f:2.8 IS L, pasti jauh lebih keren.

Oh ya, Jakarta adalah kota pertama rangkaian World Tour 2006 Live in Concert, sebelum menyapa Surabaya pas hari Valentine (14 Februari) di Shangri-La Ballroom.

Wednesday, February 08, 2006

Cara Beda Nikmati Musik

Ketika Estu mengajak nonton Krakatau live in concert di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Rabu malam lalu, gw sempat ragu.

Ya, gw mendengarkan jazz. Tapi terus terang musik ethno jazz yang mereka bawakan really isn’t my cup of coffee. Ah, sudahlah. Dari pada penasaran, berangkat juga akhirnya. Secara tempatnya deket ini sama kantor.


duet dwiki dan rafly, sadis!

foto aziz indra

Show dimulai pukul 20.00 WIB, dengan harga tiket sekitar $10. Kita telat 20 menit, dan langsung menuju lantai 2. Setting panggungnya super sederhana. Hanya berlatar kain putih. Do-it-yourself banget. ^o^

Saat itu lagu kedua, Gank 4, baru saja habis. Sebelum menyanyikan Bunga Tembaga, frontman band ini Dwiki Dharmawan sempat memberikan repertoar. ”Sejak terbentuk pada 1984, Krakatau selalu main di Graha Bhakti Budaya. Jadi show ini seperti reuni bagi kami,” urainya.

Setelah itu, Ubiet membuka lagu dengan permainan ritme vokal yang mengundang decak kagum. Suara penyanyi bernama asli Nyak Ina Raseuki ini mampu membuat hati ini bergetar.

Krakatau memang berganti formasi. Di frontline baru, selain Ubiet, yang juga seorang Etnomusikolog itu, ada drummer Gerry Herb (Alv & Audiensi band).

Sementara itu, personel ”kawakan”-nya tetap Dwiki Dharmawan (piano & synthesizer), Prab Dharma (bass), Ade Rudiana (kendang), Yoyon Darsono (tarompet, rebab, suling), dan Zainal Arifin (gamelan). Khusus untuk konser malam itu, ada dua musikus tamu, saxophonist Arif Setyadie dan penyanyi/penulis lagu asal Aceh, Tengku Rafly.

Di Aceh, Rafly punya banyak hits, termasuk Aneuk Yatim dan Yaa Rabbana. Ketika bencana Tsunami datang, karya Rafly sempat dilantunkan di televisi nasional. Ia kini juga menyiapkan album solo bertajuk Meukoendro bersama grup Kande (diproduseri oleh Dwiki dan Ubiet).

Belakangan, gw baru tahu mengapa Dwiki begitu antusias terhadap Rafly. Ya, pada show malam itu, Rafly yang seakan menjadi bintang. Ia mampu meniupkan roh serta membuat show jadi lebih hidup. Tentu saja, terlepas dari kepiawaian personel lain dalam meramu nada.



Ketika Menjemput Harapan dinyanyikan, gw langsung merinding. I’ve got goosebumps. Terutama ketika Dwiki, sang frontman, memainkan intro piano yang lembut dan indah.

Paduan nada-nada piano Dwiki dan suara Rafly yang emosional menghasilkan campuran musik yang dahsyat. Ya, gw langsung trance. Sumpah, ini nggak melebih-lebihkan, tapi hati gw bergetar, rasanya pengin nangis.

Gw melalui sebuah ”fase” yang terasa asing. Sambil menutup mata, gw mencoba mencernanya pelan-pelan.

Rasanya lebih nikmat dari mendengarkan lagu mellow setelah putus cinta. Lebih nikmat dari menghisap cimeng sembari mendengarkan Hepcat dan Slackers. Lebih nikmat dari memasang New Order dan Orgy keras-keras ditemani sebotol Jack Daniels.

Oh God, gw baru sadar, kalau gw baru saja mengalami “orgasme” batin. Damn. Don’t laugh. Gw serius. Ternyata bisa juga ya otak gw mencerna musik kayak gini. And believe me, rasanya sensasional!

Rythm Talks dan Uhang Jaeuh dibawakan dengan prima. Seperti biasa, setiap personel bergiliran bersolo lewat alatnya masing-masing. Beberapa emang asyik banget, seperti duet drum Gery dan kendang Ade yang mantab dan sangat teknikal. Cuma, ada beberapa juga yang gw nggak paham. ^o^

Konser ini sekaligus menandai diluncurkannya rilisan terbaru, setelah enam tahun vakum, 2-Worlds. Secara musikal, Krakatau memang berubah, kendati tak jauh dari warna dasarnya (ethno jazz).

Krakatau yang sekarang, lebih banyak menggunakan instrumentasi Jawa dan Sunda. Misalnya Perahu dan Nyopat yang kaya muatan bebunyian tradisional yang variatif.

Rhythm of Reformation akhirnya menutup konser malam itu. Overall, gw puas. Sangat puas malah. Soal “trance” tadi, Estu berkomentar, “ah, sok sentimentil lu!”

Turtles Can Fly



”Negara yang paling aneh di dunia adalah Irak. Ketika anak-anak Amerika bermain, mereka bermain bola. Di Irak, anak-anak ’bermain’ dengan ranjau seukuran bola,”

Kata pendek nan getir itu, terucap dari bibir sutradara Bahman Ghobadi, pria kelahiran Iran yang lebih banyak menghabiskan waktunya di Irak. ”Di Irak, anak-anak hidup dalam tragedi,” lanjut lulusan University of Tehran ini.

Keprihatian Ghobadi, dituangkannya dalam film Time For Drunken Horses dan Marooned in Iraq. Tapi baru Turtles Can Fly-lah yang benar-benar membuka mata dunia. Film yang ditulis dan disutradarainya sendiri itu mengungkap kopolosan, dan kepahitan hidup anak-anak Irak yang hidup di kamp pengungsian.

Mengagumkan, karena akting yang begitu natural dan polos itu datangnya dari anak-anak Irak asli, yang sama sekali tak pernah mengenyam pendidikan akting.

Film ini bersetting dua minggu sebelum invasi Amerika ke Irak, tepatnya di sebuah kamp pengungsian yang terletak di perbatasan Turki dan Irak. Adalah Satellite (Soran Ebrahim), 13, bocah cerdas yang ahli memasang antena dan piringan parabola.

Saat-saat itu begitu krusial untuk mengetahui kapan perang akan pecah. Karena itulah, para pengungsi terus mencari jalan untuk mengetahui dan mendapat berita tentang Saddam dan AS.

Selain pintar, Sattelite menjadi pemimpin bagi puluhan anak-anak yang ada di kamp. Ia mengorganisir mereka untuk bekerja dengan menjinakkan ranjau. Ranjau-ranjau yang tak meledak itu, kemudian ditukar dengan para (sebutan untuk uang di Irak, kalo gw gak salah denger lho)

Dari situ, Sattelite bertemu dengan gadis yatim, Agrin (Avaz Latif). Agrin berkelana dengan kakaknya Henkov (Hirsh Feyssal), bocah yang mampu meramal masa depan, dengan kedua tangan yang hancur terkena ranjau. Agrin selalu menggendong bayi berusia 3 tahun bernama Risa. Siapa bayi ini, menjadi twist yang cukup menegangkan di akhir film.



Turtles Can Fly membuat gw merasa begitu bersyukur tinggal di Indonesia. Dibalik takdir hidup yang begitu kejam, mereka masih bisa terus berusaha survive dan tertawa

Its amazing. Thumbs up buat karakter Shirko (Ajil Zibari) yang membuat gw tertawa sekaligus terharu. Definately, its a must see movie. Pada suatu adegan, Henkov men-disarm sebuah ranjau hanya dengan mulut. Bayangkan, bagaimana rasanya?

Tuesday, February 07, 2006

Musim Salju di Sapporo

Kota Sapporo tak cuma dikenal dengan mie ramen dan bir-nya yang lezat. Tapi juga festival salju spektakuler yang digelar mulai awal bulan ini. Lebih dari 300 pahatan salju dan es yang mengundang decak kagum, di pamerkan di venue Festival Salju Sapporo ke-57 itu.

Selama 6-12 Februari mendatang, kota ini akan didatangi sekitar 2.2 juta orang, yang secara khusus datang untuk melihat festival tersebut. Patung-patung berbagai bentuk, memendarkan warna-warni cantik yang memanjakan mata sepanjang Odori Park. Taman tersebut berada di tengah-tengah kota, diapit gedung-gedung bertingkat.

Sebagai salah satu kota termuda di Jepang, kemajuan Saporro begitu pesat. Lebih dari satu abad lalu (1857), populasi Saporro ”cuma” tujuh orang. Sekarang, kota metropolitan di Hokkaido ini menduduki kota terbesar kelima di Jepang.

Kata Saporro memiliki arti jamak. Dari bahasa Ainu, artinya ”daratan kering luas”. Sementara bila diterjemahkan dari sariporobetsu berarti "sungai di daratan luas penuh dengan alang-alang".






bandingkan pemandangan siang dan malam.




seorang turis memfoto ikan dan udang di dalam es. it looks really cool.



kuil Golden Pavilion of Horyuji, bela-belain bawa tripod. pasti nyari bukaan besar. warna birunya cantik banget sih.



Foto-foto : reuters/Kimimasa Mayama

Saturday, February 04, 2006

Crash, Ironi Pahit Rasialisme di AS


”You think you know who you are. You have no idea”

Tak berlebihan rasanya, bila Roger Ebert menempatkan Crash dalam deretan teratas 10 film terbaik 2005. Ketika membuktikannya sendiri, gw lebih dari sekedar mengiyakan.

Sangat sulit menandingi padatnya konflik yang diurai film besutan penulis/sutradara Paul Haggis ini. Saking intensnya, entah berapa kali tengkuk gw berdesir dan mulut melongo sepanjang film.

Crash memiliki beberapa cerita yang saling terkait satu sama lain. Dengan eksplorasi dan konflik personal masing-masing karakter yang begitu dalam dan kuat. Berbenang merah persoalan rasial di Paman Sam.

Haggis menggambarkan betapa susahnya hidup di negara multiras seperti Amerika. Dimana prejudice masih juga terjadi dalam keseharian.

Kritikus Eric Sasono, menyebut film ini sangat jujur dalam mengungkap permasalahan rasialisme di AS. Ia juga mengkaitkan masalah rasialisme ini dengan lambannya penanganan korban topan Katrina di New Orleans (yang mayoritas berkulit hitam).

Sebuah ironi ketika negara super power itu mampu mengirimkan puluhan ribu pasukan ke Irak untuk mencari senjata pemusnah masal. Ironi dan kepahitan rasialisme itu diurai Haggis nyaris dalam setiap adegan, setiap dialog, yang kemudian membingkai keseluruhan film.

Seorang polisi kulit hitam, mencari adiknya yang menjadi penjahat, sementara harus mengatasi sang ibu yang terus menerus menyalahkannya.

Dua orang bandit jalanan berkulit hitam, terus berteori tentang rasialisme (Ludacris do can act!).

Seorang pengacara distrik, yang memiliki istri pemarah, dirampok oleh kedua bandit kulit hitam.

Seorang polisi rasis yang harus merawat ayahnya yang sakit-sakitan karena kanker prostat.

Sutradara kulit hitam Hollywood dan istrinya, yang harus berurusan dengan si polisi rasis.

Keluarga imigran Persia yang membeli senjata untuk melindungi tokonya.

Pria keturunan hispanic (Spanyol) berprofesi sebagai ahli kunci dan putrinya yang takut akan senjata.

Rajutan konflik yang diramu oleh Haggis benar-benar mengalir, rapi, dan super padat. Rasanya, tak ada satupun repetisi atau kata yang terbuang percuma. Penonton dibawa ke dalam multiple conflict yang dialami pemain-pemainnya.

Para bintang di film ini pun bermain dengan sangat apik. Ada Sandra Bullock, Don Cheadle, Matt Dillon, Jennifer Esposito, William Fichtner, dan Brendan Fraser.

Jangan lupakan juga soundtrack yang simple namun menyentuh di sepanjang film. Maybe Tommorow dari Stereophonics menutupi kesempurnaan film ini. It’s just perfect!

old fashioned way

Ada sedikit kehebohan di kos. Konon si pemilik, Koh Ayong, berencana menjual “tempat tinggal” kita itu ke orang lain. Gosip-gosip pun bermunculan soal si pemilik baru. Dari uang kos yang dinaikkan, sampai televisi ruang tengah dan kulkas yang di tarik.

That’s cruel man.

Tak bisakah kumenonton Komedi Tengah Malam rame2 lagi?
Tak bisakah kumenyimpan bawang merah, bawang putih, dan bawang bombay di kulkas lagi?

Tanda-tanda “bencana” mulai kelihatan, ketika 2 minggu terakhir ini gas elpiji tak kunjung diisi. Padahal biasanya, tak sampai 4 hari gas yang habis segera di recharge oleh si Koh.

Tentu saja, dampaknya, gw nggak bisa masak, nggak bisa bikin kopi, nggak bisa bikin pancake, nggak bisa ngebontot, etc.

Solusinya, menggunakan kompor biasa milik ibu penjaga kos. ”Sementara pake ini saja, Mas!” katanya saat melihat gw celingak-celinguk di dapur.

Asal tahu aja, seumur-umur baru kali itu gw ngelihat “kompor non-gas”. Dooh, gw orang kota gituloh!

Dan yang pertama kali terpikir adalah, “how to turn this rusty old thing on???!!!”. Secara nggak ada “cetekan”-nya. Lagi-lagi gw celingak-celinguk melihat tuh kompor dari sudut 360 derajat, sambil garuk-garuk kepala.

Si ibu tersenyum. Dengan cekatan diambilnya sebatang lidi, dimasukkan ke salah satu lubang yang berisi minyak tanah, dinyalakan. Tangannya memutar tuas, dan menusuk-nusukkan lidi yang menyala tadi ke dalam sumbu. “giniloh caranya, gampang kok?”.

Beberapa detik kemudian, api pun menyala.

“Cool, old skool style! gitu toh, ah, peace a cake!” pikir gw. Meski harus nunggu sedikit lama, tapi kompor non-gas ini panas juga kok. In the end, memasak lah gw dengan bahagia. Tralala..

Thats the end? Nope.

Keesokan harinya, gw pun mencoba teknik menyalakan kompor oldskool tadi dari sang ibu. Berhasilkah? Boro-boro.

Ternyata nggak segampang yang dibayangkan. The most difficult part is, saat harus menusuk-nusukan lidi yg menyala ke dalam sumbu kompor. Apinya mati terus. Susaaaahnya setengah mati. Sampe putus asa gw.

Tiba-tiba, si Ulum—dateng seperti biasa dengan cengiran khasnya—, yang melihat gw kebingungan langsung mengambil alih.

“halah, ngoropno kompor ae gak iso!” (nyalain kompor aja gak bisa)
“angel su! Cobaen lek iso!” (susah bego, coba kalo bisa)

huh, secara dia yang antidapur dan masak air aja gosong, gw pesimis berat.

Sejurus kemudian, kompor itu nyala!!! Dan Ulum melakukannya dengan cara yang tak kalah handal dengan ibu penjaga kos! WTF???

Tinggalah gw, melongo, merasa terhina, bingung, merasa dinodai..*halah

Gw : kok...kok???
Ulum : he..he..he.. *senyum penuh kemenangan
Gw : kok iso???? Yok opo carane??? (kok bisa? Gimana caranya?)
Ulum : ho..ho..ho *ugh, senyumannya makin menyebalkan
Gw : eh, temenan iki pak, kok iso sih?? *sambil gw geplak kepalanya
Ulum : kompor nang omahku koyok ngene (kompor dirumahku seperti ini)
Gw : lha, kon gak duwe kompor gas ta? (emang lu ga punya kompor gas dirumah?)
Ulum : gak
Gw : kenapa?
Ulum : emesku wedi lek mledak (nyokap gw takut kalo kompornya nanti meledak).
Gw :..........

NB : the good news is, si pemilik yg baru tak jadi menaikkan tarif kos. Juga tak mengambil tv dan kulkas. Malah, gas baru pun sudah di ganti. Jadi gw bisa masak. Yippeeee. ^o^

“tapi tolong ya, mulai bulan ini bayar kosnya nggak ditagih langsung. Tapi di transfer aja ke rekening saya. Mandiri bisa, BCA juga bisa kok. Ok!”

*kenapa gak sekalian aja pake debit??? Dasar gila!!!

Thursday, February 02, 2006

Ikutan Nyebar VIrus


Blog.Worm


hoho, virus yang imut.